Ebrita.com – Konflik berkepanjangan antara Imam Muslimin alias Yai Mim, mantan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan tetangganya, Nurul Sahara, kian meruncing. Perseteruan yang awalnya hanya soal lahan parkir kini melebar hingga tuduhan pencemaran nama baik, pelecehan, hingga berujung pengusiran Yai Mim dan istrinya dari lingkungan perumahan mereka.
Dalam sebuah tayangan di kanal Kang Dedi Mulyadi Channel, Yai Mim curhat langsung kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dan meminta sang politisi turun tangan menengahi konflik.
“Kalau Kang Dedi datang, selesai semua masalah. Jangan sampai kedahuluan Bu Khofifah,” ucap Yai Mim, menyebut nama Gubernur Jawa Timur.
Namun, Dedi menolak terlibat terlalu jauh dengan alasan kewenangan.
“Mohon maaf, saya ini Gubernur Jawa Barat. Kalau ke Jawa Timur ya ndak boleh, itu ranah Bu Khofifah,” jawabnya sambil tertawa, sembari berpesan agar warganya menjaga hubungan baik dengan tetangga.
Konflik Yai Mim–Sahara berawal dari masalah parkir kendaraan rental milik Sahara. Yai Mim mengaku terganggu dan sempat memindahkan mobil tetangganya itu, yang justru memicu kemarahan. Sejak itu, hubungan keduanya kian panas, bahkan melibatkan saling tuding di media sosial.
Puncaknya, warga RT 09/RW 09 Perumahan Joyogrand, Malang, dalam musyawarah resmi memutuskan mengusir Yai Mim dan istrinya. Dalam surat pengusiran, tercatat lima alasan, mulai dari perilaku tidak pantas, penutupan akses jalan, hingga tuduhan pencabulan.
Sahara sendiri melaporkan Yai Mim ke polisi atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Sebaliknya, Yai Mim melaporkan balik Sahara dengan pasal berlapis, termasuk UU ITE dan ancaman. Kini kasus keduanya resmi masuk ranah hukum di Polresta Malang Kota.
Kasus ini bukan hanya konflik personal, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perseteruan di lingkungan bisa melebar menjadi konsumsi publik, apalagi ketika dibumbui tuduhan berat dan viral di media sosial. Posisi Yai Mim sebagai mantan akademisi membuat isu semakin sensitif.
Meski begitu, di tengah drama ini, publik melihat satu hal: ketidakmampuan warga dan aparat lokal menyelesaikan persoalan sederhana sehingga meluas menjadi konflik besar.(tim)