JAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, kembali meluruskan isu soal kepemilikan tanah yang tengah ramai dibicarakan publik.
Ia menegaskan, negara hanya mengatur hubungan hukum antara rakyat sebagai pemilik hak atas tanah dengan tanah itu sendiri.
“Negara yang mengatur hubungan hukum antara masyarakat sebagai pemilik tanah dengan tanahnya. Hubungan hukum itulah yang disebut sertipikat,” kata Menteri Nusron, Selasa (12/8/2025).
Nusron menjelaskan, tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak dimanfaatkan secara ekonomi atau pembangunan selama lebih dari dua tahun berpotensi ditetapkan sebagai tanah terlantar.
Namun, proses penetapan tidak dilakukan secara instan. Pemerintah akan melalui tahapan administrasi dan mengirimkan surat peringatan berjenjang, dengan total durasi sekitar 587 hari sebelum status tanah ditetapkan sebagai terlantar.
“Tanah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak memiliki batas waktu pemanfaatan dan tetap dapat diwariskan antar generasi,” tegas Nusron.
Sebelumnya, Nusron juga mengungkapkan bahwa pemerintah dapat mengambil alih lahan bersertifikat yang tidak digunakan selama dua tahun berturut-turut. Prosesnya dimulai dari pemberitahuan awal, lalu peringatan pertama, kedua, dan ketiga.
Jika dalam 587 hari tidak ada aktivitas, tanah tersebut akan masuk kategori terlantar dan bisa menjadi objek reforma agraria untuk didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan, termasuk organisasi masyarakat seperti PB IKA-PMII, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Saat ini, dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia, tercatat 1,4 juta hektare berstatus tanah terlantar dan menjadi target program reforma agraria.
“Kalau punya HGU atau HGB dan dua tahun tidak dimanfaatkan, pemerintah berhak menetapkannya sebagai tanah terlantar,” pungkasnya. (*/Hzq)