Ebrita.com – Meski musim kemarau 2025 diprediksi akan lebih basah dari biasanya, bukan berarti Indonesia bisa bernapas lega begitu saja. Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menghantui, terutama di wilayah-wilayah rentan seperti Sumatera dan Kalimantan.
Pakar lingkungan sekaligus ilmuwan senior CIFOR-ICRAF dan Guru Besar IPB, Herry Purnomo, mengingatkan bahwa karhutla tahun ini harus ditekan seminimal mungkin, setidaknya setara dengan tingkat kebakaran di tahun 2022 yang tergolong rendah.
Kemarau basah adalah peluang, tapi bukan alasan untuk lengah. Kebakaran bisa tetap terjadi, apalagi di lahan gambut, tegas Herry dalam keterangannya.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa awal musim kemarau tahun ini dimulai bertahap dari akhir April hingga Juni, dan diperkirakan memuncak pada Juni hingga Agustus 2025.
Yang menarik, kemarau 2025 didominasi sifat ‘normal’ hingga ‘lebih basah’. Sekitar 60% wilayah akan mengalami kemarau normal, 26% lebih basah dari biasanya, dan hanya 14% yang lebih kering.
Meski terdengar menjanjikan, para ahli memperingatkan bahwa kondisi cuaca bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Lahan gambut yang kering sedikit saja bisa memicu api. Ditambah lagi, praktik pembukaan lahan dengan membakar masih terjadi di beberapa daerah.
BMKG dan BNPB bahkan telah bersiap lebih awal dengan melakukan operasi modifikasi cuaca di Riau untuk menjaga kelembapan lahan dan mencegah karhutla dini.
Tahun 2022 menjadi patokan karena berhasil mencatat tingkat karhutla yang jauh lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, aparat, dan masyarakat kini ditantang untuk menyamai atau bahkan melampaui capaian tersebut.(Tim)