JAKARTA – Skandal besar kembali mencoreng dunia kelistrikan nasional. Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri resmi menetapkan Halim Kalla, Presiden Direktur PT BRN sekaligus adik kandung dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK), sebagai tersangka kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalbar senilai lebih dari Rp1,35 triliun.
Penetapan Halim Kalla sebagai tersangka diumumkan usai gelar perkara pada Jumat (3/10) lalu. Selain Halim, penyidik juga menetapkan tiga tersangka lain, termasuk Fahmi Mochtar, mantan Direktur Utama PLN periode 2008–2009.
“Tersangka FM (Fahmi Mochtar) sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN, dan HYL selaku Dirut PT Praba,” ungkap Irjen Cahyono Wibowo, Kepala Kortas Tipikor Polri, dalam konferensi pers, Senin (6/10).
Direktur Penindakan Kortas Tipikor, Brigjen Totok Suharyanto, membeberkan bahwa proyek pembangunan PLTU Kalbar yang dimulai pada 2008 tersebut sarat dengan penyalahgunaan wewenang dan praktik kolusi.
Sejak awal, proyek sudah bermasalah. PLN disebut bersekongkol dengan PT BRN untuk memenangkan lelang pembangunan, bahkan sebelum proses tender resmi dilakukan.
“Panitia pengadaan PLN tetap meloloskan dan memenangkan konsorsium KSO BRN meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis,” jelas Totok.
Parahnya lagi, dua perusahaan anggota konsorsium Alton dan OJSC diketahui tidak pernah tergabung secara resmi dalam kerja sama tersebut.
Setelah memenangkan tender, KSO BRN bahkan mengalihkan pekerjaan kepada PT PI sebelum kontrak ditandatangani pada 11 Juni 2009, padahal saat itu PLN belum mendapatkan pendanaan.
Hingga batas kontrak pertama berakhir pada 28 Februari 2012, proyek baru mencapai 57% progres. Meski kontrak telah diperpanjang 10 kali hingga 2018, pembangunan tetap tidak rampung dan hanya menyentuh 85,56%.
Alasan klasik kekurangan dana digunakan sebagai pembenaran. Namun penyidik menemukan fakta lain: ada aliran dana mencurigakan dari rekening proyek menuju rekening para tersangka.
“KSO BRN telah menerima pembayaran dari PLN sebesar Rp323,19 miliar untuk konstruksi sipil dan USD 62,4 juta untuk pekerjaan mekanikal-elektrikal. Namun dana tersebut mengalir ke pihak-pihak terkait,” beber Totok.
Akibat penyimpangan tersebut, hingga kini PLTU 1 Kalbar tidak bisa dimanfaatkan. Bangunan dan peralatannya terbengkalai, bahkan banyak yang rusak dan berkarat.
Irjen Cahyono memastikan kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp1,35 triliun. “Proyek yang seharusnya menjadi tulang punggung kelistrikan di Kalimantan Barat justru berubah menjadi kerugian besar bagi negara,” tegasnya.
Kasus ini kini tengah dalam tahap pemberkasan untuk dilimpahkan ke Kejaksaan. Polri berkomitmen mengusut tuntas dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah elite tersebut. (*)