eBrita.com – Suara pilu datang dari para guru madrasah swasta. Dalam rapat dengar pendapat umum (RDP) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ketua Umum Perkumpulan Guru Madrasah Mandiri (PGMM) Tedi Malik menyampaikan jeritan panjang tenaga pendidik yang merasa tersisih dari kebijakan negara.
“Kami menjerit menahan sakit kebijakan,” ucap Tedi dengan nada getir di hadapan anggota DPR, menggambarkan beratnya beban guru madrasah swasta yang selama ini bekerja dalam keterbatasan tanpa jaminan status dan kesejahteraan layak.
Menurut Tedi, lahirnya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 20 Tahun 2023 justru menutup peluang bagi guru swasta untuk mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pasal-pasal dalam regulasi itu hanya memberi ruang bagi tenaga honorer di lembaga pemerintah, sementara guru madrasah swasta yang jumlahnya sangat besar, tidak diakomodasi.
“Padahal kami sama-sama mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa. Hanya karena bekerja di lembaga swasta, kami seolah tak dianggap bagian dari sistem pendidikan nasional,” tegasnya.
PGMM menilai, ketimpangan ini juga diperkuat oleh kelemahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 yang tidak sepenuhnya melindungi guru di madrasah swasta. Akibatnya, kebijakan mengenai formasi, tunjangan, hingga jaminan sosial cenderung berpihak pada guru negeri.
Dalam pertemuan itu, PGMM menyampaikan tiga tuntutan utama:
- Pemerintah dan DPR diminta merevisi UU ASN dan UU Guru dan Dosen agar mencakup guru swasta.
- Membuka formasi afirmasi PPPK khusus bagi guru madrasah swasta.
- Memberikan subsidi gaji, tunjangan, dan jaminan sosial yang bersumber dari APBN atau APBD untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tedi menegaskan, perjuangan ini bukan sekadar soal gaji, melainkan tentang pengakuan dan keadilan. “Kami tidak meminta istimewa. Kami hanya ingin diperlakukan setara,” ujarnya.
Data PGMM mencatat, lebih dari 83 ribu madrasah swasta di Indonesia menampung jutaan siswa, namun kesejahteraan para gurunya masih jauh dari layak. Sebagian besar hanya menerima honor di bawah upah minimum, tanpa kepastian karier maupun perlindungan sosial.
Jeritan guru madrasah swasta ini menjadi cermin persoalan lama yang belum terjawab: bahwa pendidikan Indonesia masih menyisakan ketimpangan, bahkan di tangan mereka yang seharusnya menjadi pilar utama mencerdaskan bangsa.(Tim)