eBrita.com – Isu pergantian Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka makin panas. Usulan mengejutkan datang dari barisan purnawirawan TNI yang meminta agar Gibran diganti, bahkan sebelum resmi dilantik. Mereka menilai pencalonan Gibran cacat etika dan demokrasi sejak awal.
Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri untuk Demokrasi dan Keadilan menyampaikan kekhawatiran mereka secara terbuka. Mereka menyebut putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran — diputuskan saat MK dipimpin pamannya sendiri, Anwar Usman — sebagai bentuk intervensi hukum demi kepentingan politik keluarga.
“Ini bukan lagi soal kalah menang di Pilpres, ini soal menyelamatkan demokrasi dari praktik nepotisme yang vulgar,” ujar salah satu perwakilan forum.
Respons menarik datang dari PDI Perjuangan, partai tempat Presiden Joko Widodo dulunya bernaung. Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menyebut usulan purnawirawan tersebut sebagai sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan.
“Bagus juga itu jadi bahan masukan. Demokrasi kan milik rakyat, bukan milik elit saja,” kata Djarot.
Meski tidak secara eksplisit mendukung penggantian, pernyataan Djarot cukup menohok dan menambah bobot pada wacana yang digulirkan para purnawirawan.
Pengamat politik Ahmad Khoirul Umam menilai seruan dari para purnawirawan bukan semata reaksi emosional, melainkan peringatan serius soal etika bernegara. “Ada sinyal kuat bahwa publik dan elite tertentu menilai proses pencalonan Gibran bermasalah secara moral meski sah secara hukum,” ujarnya.
Umam menyebut jika tekanan terus berkembang, bisa saja muncul skenario politik di parlemen untuk meninjau kembali posisi Gibran. “Ini belum akhir, ini baru babak awal,” imbuhnya.
Sampai saat ini, Gibran belum memberikan tanggapan resmi. Sebelumnya, ia hanya menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat dalam putusan MK dan hanya mengikuti aturan yang ada.
“Saya hanya fokus kerja. Enggak ikut campur urusan MK,” ujar Gibran dalam wawancara sebelumnya.
Namun, diamnya Gibran justru memperpanjang spekulasi publik, di tengah polemik etika dan legitimasi yang masih membayanginya.
Masalah Gibran bukan sekadar hukum, tapi soal etika dan persepsi publik. Putusan MK memang tidak bisa dibatalkan, tetapi opini publik bisa membentuk realitas politik yang berbeda. Banyak yang merasa demokrasi telah dilangkahi demi kepentingan kekuasaan.
Pelanggaran etik berat oleh Anwar Usman telah terbukti oleh Majelis Kehormatan MK. Namun, keputusan yang dihasilkannya tetap berlaku. Di sinilah krisis kepercayaan muncul — bahwa hukum bisa dimanipulasi jika kekuasaan terlalu dominan.
Pasangan Prabowo-Gibran baru akan dilantik Oktober mendatang. Namun polemik ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap Gibran akan terus berlanjut. Publik, elite politik, dan media akan terus menyoroti tiap gerak-geriknya — bahkan mungkin sebelum dia benar-benar mulai bekerja.
Dengan sorotan dari purnawirawan, dukungan tak langsung dari PDIP, dan keresahan publik yang belum reda, Gibran kini berada di posisi sulit. Apakah ia mampu membuktikan kapasitas dan integritasnya, atau justru akan terus dikejar isu legitimasi?
Satu hal pasti: demokrasi Indonesia sedang memasuki fase ujian baru — antara etika, kekuasaan, dan suara publik.(Tim)